Jumat, 11 Februari 2011

Apa Kamu Bisa?

Dulu, Dulu banget… saat saya baru duduk di bangku kelas 1 SMU, ada sebuah audisi untuk sebuah majalah sekolah, tentunya di sekolah yang baru saya duduki bangkunya tadi. Karena saya suka nekat dan ingin mencari suatu kegiatan baru (selain main gitar dirumah selepas pulang sekolah), saya putuskan untuk ambil bagian didalamnya. Layaknya remaja pada umumnya, semangat saya sangat menggebu-gebu saat itu, langsung saja tawaran itu saya jawab dengan jari telunjuk mengacung keatas, “Saya mau!” dan saat itu saya orang pertama di kelas yang mengajukan diri.

Tak selang beberapa lama, Guru Bahasa Indonesia dengan senyum kecut nya, menunda pencatatan diri saya di daftar calon anggota majalah sekolah itu. Hal yang paling mendasar dan mungkin bisa diterima, adalah syaratnya yang sangat eksklusif, ‘Calon Peserta Adalah Siswa Rangking 1 dan 2, atau Memiliki Danem Tinggi’, sontak saya terkejut sembari menahan malu, karena kenyataanya, saya sama sekali tidak masuk kategori.

Guru itu lantas mencari kandidat baru, dengan alasan, saya adalah cadangan jika tidak ada lagi calon dikelas itu. Tindakan itu adalah cambuk buat saya, sehina itukah saya? Se elegan itukah majalah sekolah? Karena tidak satupun mau, keputusan pun jatuh pada saya dan seorang lagi siswi cantik dengan nilai tinggi. “Okky, apa kamu bisa? Kamu goblok gitu,” oloknya didepan 50 siswa. Dengan santai saya jawab, “Orang tua saya tidak pernah meragukan saya saat saya belajar jalan, jadi kenapa saya harus ragu?” Jawab saya tegas.

‘Pertempuran’ pun dimulai, satu tahun pertama, saat itu masih anggota junior, saya berhasil mengumpulkan artikel saya jauh sebelum tanggal deadline, satu tahun kedua, saya berhasil dipilih mnenjadi ketua baru, atau bahasa keren-nya, Pimpinan Redaksi. Sejumlah perubahan saya lakukan, mulai penggunaan bahasa baku, rekrutmen yang tidak lagi mementingkan nilai, pengakuan kemampuan personal, hingga look majalah yang baru. Saya berhasil melampaui siswi cantik dengan nilai terbaik itu.

Prestasi Jurnalis SMA Terbaik, berhasil saya raih, dan kepercayaan teman-teman, guru, kepala sekolah, hingga guru pematah semangat tersebut, beralih pada saya, siswa bodoh dan bahan olokan.

Lepas dari pendidikan Putih Abu-abu tersebut, selang beberapa tahun tentunya, saya putuskan untuk meneruskan hobi saya sebagai Jurnalis dengan melamar sebagai wartawan di media lokal. Dengan semangat olokan dulu, saya berhasil menjadi Koordinator Liputan, Redaktur, hingga Humas dalam 2 tahun masa kerja saya.

Bukan Prestasinya yang menjadi inti tulisan ini, tapi saya berhasil menaklukan momok ejekan yang selalu menjadi ganjalan selama ini. Guru pematah semangat itu sekarang berbalik malu saat melihat saya di reuni sekolah. Tapi tanpa saya sadari, Guru itu sudah berubah menjadi Guru Pembakar Semangat saya. Saya peluk dia, dan saya katakan, “Terima kasih atas ejekan ibu dulu.”

Ahli Batu

Ini adalah cerita tukang batu.

Hiduplah seorang ahli batu yang sangat terkenal di China. Hasil karyanya tersohor disegenap penjuru negeri. Batu-batu permata dan intan yang berkilauan itu, dipajang menjadi perhiasan jemari dan kaki para raja. Hampir semua batu indah di dunia ini, pernah diolah tangannya. Giok, rubi, dan safir, terpajang di segenap sudut-sudut rumahnya.

Namun sang ahli sudah sangat tua. Kini ia berusaha mencari pengganti dan penerus karya-karyanya. Belasan orang berusaha berguru. Tapi tak ada yang cocok untuk pekerjaan itu. Hingga akhirnya dia menemukan seorang pemuda yang tampak bersemangat dan bersedia menjalani ujian.

“Anak muda, ujian pertama ini tidak sulit,” ucap sang ahli membuka pembicaraan. “Mudah saja. Begini, jika kamu mampu mengambil batu dalam genggamanku, maka kamu layak mewarisi semua ilmuku. Namun, jika tanganku yang lebih cepat menutup, maka kamu harus mengulang ujian itu besok.”

Anak muda itu mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk pelan dan menjawab, “Baiklah, itu pekerjaan mudah.”

Ujian itupun dimulai. Sang ahli meletakkan sebuah batu diatas genggaman. Disodorkannya ke arah muka si anak muda. “Ayo, ambil.”

Hap! Tampak kedua tangan yang beradu cepat. Sang pemuda berusaha meraih batu dalam genggaman itu. Ah, dia kalah sigap. Tangan sang ahli telah lebih dulu menutup. “Kamu belum berhasil, Anak muda. Cobalah besok.”

Sang pemuda tampak kecewa. Keesokan harinya, anak muda itu kembali mencoba. Ujian pun berulang. Lagi-lagi, dia gagal. Gerakannya masih terlalu lambat. Ia pun harus kembali mengulang ujian itu. Dua, tiga hari dilaluinya, tak juga berhasil. Sembilan hari telah terlewati. Tapi batu itu masih belum berpindah tangan. Pemuda itu mulai tampak putus asa dan dia berjanji kalau besok masih belum berhasil, dia akan berhenti dan tidak mau menjadi ahli permata.

Hari penantian itu pun tiba. Keduanya telah duduk berhadapan. Sang ahli bertanya, “Kamu sudah siap?” Sang ahli meletakkan sebongkah batu diatas genggamannya. Namun, tiba-tiba anak muda itu berteriak, “Hei, tunggu dulu. Itu bukan batu yang biasa kita gunakan!” Alih-alih meraih batu itu, sang anak muda malah menanyakan tentang batu. Wajah keheranan itu dibalas dengan senyuman dari sang ahli batu. “Anak muda, kamu lulus ujian pertama dariku. Selamat!”

Selasa, 08 Februari 2011

Setan Atau Malaikat?

“Makhluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi setan atau malaikat.” (John Scheffer).


Dari pingir kaca nako, diantara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat rumah saya. Tangannya yang dimasukkan di saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang lalu lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan di Koran. Atau, dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu lalu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi, mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri disamping tiang telepon. Saya punya pikiran lain, Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga leih baik dari pada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, diantara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena sesekali anak itu masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas dipikaran saya untuk menelpon tetangga. Tapi, saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk sekompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul?

Tiba-tiba, anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tatangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi, anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba, di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai rumah saya tahu dompet yang disimpan dikantong plastik disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah diatas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapapun saya piker aan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongeng?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastic hitam itu, saya menemukan surat yang tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:


“Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu, tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan member ongkos. Karena kempuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi, yang membuat saya sakit hati, bapak sering mabuk dan judi buntut yang beredar dan sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja berjualan koran, saya juga membantu mencuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya mengamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini, belum pernah tebakan bapak tepat. Lagi pula, emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika bapak semakin sering meminta uang kepada emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir bapak. Dan begitu bapak memukul, saya membalasnya sampai bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat emak sakit dan bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati dengan siapa. Hanya untuk membawa emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang sering tidur entah dimana, tidak peduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya berjualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi, orang lain dengan mobil mewah melenggang begitu saja didepan saya, sesekali menelepon dengan HP. Dan diseberang halte itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, emak harus ke dokter. Karena dari berjualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu, diatas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapat uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Bu, emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya atau meminjam dari teman. Tapi, saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, emak mengalihkan pandangannya setelah saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya, mengalir butir-butir air. Emak menangis. Bu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak peduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak peduli kepada saya. Tapi, saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”


Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap halte tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapa pun yang berada di halte tidak mengena anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, dibawah pohon yang rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya. Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja. Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan ditempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merek terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolak meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan dimana saja. Tapi, saya ingin memasak dirumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus diberikan kepada para pengemis, para pedangan asongan, dan pengamen yang banyak disetiap halte.

Dihalte terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.”

Dan, saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons