Sabtu, 08 Januari 2011

Nilai Kesadaran

Dikisahkan, seorang direktur eksekutif di sebuah perusahaan multinasional berkisah tentang perjalanan kariernya.
Saat masih muda, dia bangga pada dirinya sendiri yang pintar, lulus sekolah dengan angka yang memuaskan dan bersikap angkuh pada orang-orang yang tidak sepandai dirinya. Dulu ia egois sekali, mengejar karier secepat mungkin tanpa mempertimbangkan perasaan orang-orang yang ia duluhi. Yang penting, cepat sampai tujuan tanpa pernah menyadari bahwa kepandaian dan caranya memenangkan perdebatan di meja rapat ternyata menyakiti teman-teman dan seniorku sendiri. Yang penting, dewan direksi senang dan puas dengan hasil kerjanya, maka kariernya pasti akan meningkat dengan pesat begitu pula gaji dan fasilitas yang bakal ia terima. Yang lainnya dia tidak peduli. Sikapnya yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak merasa perlu bersosialisasi, menyebabkan ia dijauhi teman-teman dan ketika sadar, tiba-tiba ia sendirian!
Saat kelelahan karena pekerjaan yang menumpuk, tidak ada satu orang pun yang menyapanya apalagi membantu. Ketika sakit, tidak ada yang menanyakan keadaannya apalagi menjenguk. Hidupnya begitu kering dan kesepian. Hanya ada satu orang yang menyapaku dengan senyum, yang selalu merekah di bibirnya, yaitu si Udin, cleaning service merangkap office boy di kantorku. Sosok pemuda kampung yang ramah dan suka membantu.
Sapanya yang khas setiap bertemu, "Selamat pagi, siang, atau sore, Pak.","Mau tambah minum apa?", atau "Apa yang bisa saya bantu, Pak?" Meskipun pekerjaannya berat, menyiapkan segala properti untuk semua orang di kantor, dia selalu ringan tangan untuk menolong orang lain yang bukan menjadi tugasnya sehingga dia sangat disukai oleh semua orang. Bahkan saat tidak masuk kerja karena sakit, beberapa orang kantor menyempatkan menengok dan mengumpulkan uang untuk membantu Udin.
Diam-diam, aku iri kepada Udin dan marah kepada diriku sendiri. Iri kepada Udin? Yang cuma cleaning service? Sungguh keterlaluan! Kenyataan itu serasa menamparku dengan keras. Selama berhari-hari aku merenung dan meneliti kembali tujuan hidupku. Apakah aku bahagia dengan perolehan yang telah aku capai selama ini? Apakah ini tujuan hidup yang aku inginkan? Dan banyak lagi pertanyaan yang menggantung di benak ini. Sejak itu, aku sadar dan segera membuat rencana untuk berusaha mengubah diri menjadi lebih baik seperti yang aku inginkan.
Menjadi pribadi yang lebih menyenangkan bagi diri sendiri dan orang lain. Perubahan demi perubahan positif pun terjadi. Sungguh luar biasa. Kesadaranku muncul karena seorang Udin!

Rabu, 05 Januari 2011

Lampu Merah dan Kesedihan

Dari Kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan disitu cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.
Priiit ! Di seberang jalan, seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itukan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali bertemu kamu lagi!"
"Hai, Jack," jawab Bob tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu dirumah."
"Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalo begitu. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segalasesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya ngerti. Tapi sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
"Jadi kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala." Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
"Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."
Dengan ketus Jack menyerahkan kartu SIM lalu masuk kedalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima senti sudah cukup untuk memasukkan surat tilangnya. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM-nya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota apa ini? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

Hallo Jack,
Tahukah kamu, Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang mengebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama tiga bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku, Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah.

Bob

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang, ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
***
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons