Selasa, 22 Maret 2011

Titip Ibuku Ya Allah

"Nak, bangun.... udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja......." Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah Perusahaan Tambang, tapi kebiasaan ibu tak pernah berubah.
"Ibu sayang.... ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah dewasa" pintaku pada ibu pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa ibu selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa ibu mudah sekali sedih ? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca...... orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak ..... tapi entahlah...... Niatku ingin membahagiakan malah membuat ibu sedih. Seperti biasa, ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.
Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, "Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan ibu. Apa yang bikin ibu sedih?" Kutatap sudut-sudut mata ibu, ada genangan airmata di sana. Terbata-bata ibu berkata, "Tiba-tiba ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri"
Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang ibu ... bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut padang masing-masing. Diam-diam aku bermuhasabah .... Apa yang telah kupersembahkan untuk ibu dalam usiaku sekarang? Adakah ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya? Ketika itu kutanya pada ibu, ibu menjawab, "Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat ibu. Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan disitulah kebahagiaan orang tua."
Lagi-lagi aku hanya bisa berusap, "Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada ibu. Masih banyak alasan ketika ibu menginginkan sesuatu."
Betapa sabarnya ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan ibuku untuk "cuti" dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi tidak! ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun. Pukul 3 dinihari ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi..... Ah, maafin kami ibu..... 18 jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat ibu lelah.... Sanggupkah aku ya Allah?
"Nak....bangun nak, udah azan subuh ..... sarapannya udah ibu siapin dimeja...". Kali ini aku melompat segera.... kubuka pintu kamar dan kurangkul ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan, "Terimakasih ibu, aku beruntung sekali memiliki ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan ibu......".
Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan....... Cintaku ini milikmu, Ibu..... aku masih sangat membutuhkanmu..... Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu.....
"Ya Allah, cintai ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan ibu....., dan jika saatnya nanti ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil"

"TITIP IBUKU YA ALLAH"

Senin, 21 Maret 2011

Kesempatan Dalam Kehidupan

Di sebuah ladang yang subur, terdapat 2 buah bibit tanaman yang terhampar. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku sangat dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, serta kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku.”

Dan bibit yang pertama inipun tumbuh, makin menjulang.

Bibit yang kedua bergumam. “Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak.

Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untukmemakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”

Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.

Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan memakannya segera.

Jumat, 18 Maret 2011

Tips Umum Menghadapi Stress

  1. Kembangkanlah keteraturan (seperti berbenah).
  2. Alihkan fokus Anda.
  3. Luangkanlah waktu untuk berolahraga.
  4. Terbukalah kepada orang lain.
  5. Kembangkan pilihan lain.
  6. Ambillah waktu untuk berdoa.
  7. Tuntaskanlah urusan yang belum tuntas.
  8. Putuskan untuk percaya.
  9. Dedikasikanlah diri kepada hal-hal yang dasar.
  10. Lepaskanlah
  11. Bertekunlah
  12. Jangan menjadi orang 'tipe serba bisa'.
  13. Positive thinking

Selasa, 15 Maret 2011

Percayalah !

  • Beliefs have the power to create and the power to destroy. (Anonim)
  • Everything you can imagine is real. (Pablo Picasso)
  • Faith is taking the first step even when you don't see the whole stairs. (Marthin Luther King)
  • If my mind can conceive it, and my heart can believe it, then i can archieve it. (Mohammad Ali)
  • A market is never saturated with a good product, but it's very quickly with a bad one. (Henry Ford)
  • The Past doesn't equal the Future. (Anthony Robbins)
  • I fear not the man who has practiced 10,000 kicks once, but i fear the man who has practiced one kick 10,000 times. (Bruce Lee)
  • Knowing is not enough, you must apply. Willing is not enough, you must do. (Bruce Lee)
  • Satu-satunya yang bisa menghalangi kita adalah kayakinan yang salah dan sikap yang negatif. (dr. Ernest Wong)
  • Setiap badai pasti berlalu dan saya akan tumbuh menjadi kuat. (Tung Desem Waringin)
  • Investasi dalam pengetahuan akan membawa bunga yang baik. (Benjamin Franklin)
  • Manager melakukan sesuatu dengan benar, pemimpin melakukan hal dengan benar. (Peter Drucker)
  • Tak ada burung yang terbang terlalu tinggi jika ia terbang dengan sayapnya sendiri. (Anonim)
  • Jangan menunggu kesempatan yang luar biasa. Manfaatkan kesempatan yang biasa dan jadikan luar biasa. (Anonim)
  • Pikiran ibaratnya parasut, tak akan bekerja bila tak terbuka. (Anonim)
  • Jika Anda terus-menerus memiliki pemikiran yang sama, dan melakukan hal yang sama. Anda akan memperoleh hasil yang sama. (Anonim)
  • Kebanyakan orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan dalam hidup ini karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. (Anonim)
  • Sebuah tindakan mungkin tidak selalu membawa kebahagiaan, namun tidak akan ada kebahagiaan tanpa tindakan. (Benjamin Disraeli)
  • Jika kamu tidak dapat melakukan hal-hal agung, lakukanlah hal-hal kecil dengan cara yang agung. (Napoleon Hill)
  • Biarkan dia yang menggerakkan dunia. Pertama-tama gerakkanlah diri sendiri dahulu. (Socrates)
  • Dunia luar Anda biasanya menjadi cerminan dari dunia dalam Anda. (Anonim)
  • Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah untuk menjadi manusia yang berguna. (Einstein)

Minggu, 13 Maret 2011

Ubahlah Dirimu !

  • Hidup memberi kita banyak pelajaran, tergantung pada kita apakah kita mau mempelajarinya. (Anonim)
  • Orang tidak bisa mengubah kebenaran, tapi kebenaran bisa mengubah orang. (Anonim)
  • Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah mengerjakan sesuatu yang kata orang-orang tidak bisa kita kerjakan. (Walter Bailey)
  • Orang yang bertanya, bodoh dalam 5 menit. Dan orang yang tidak bertanya akan tetap bodoh untuk selamanya. (Pepatah Cina)
  • Setiap masalah punya hadiah untuk Anda di tangannya. (Richard Bach)
  • Jika Anda menunggu sampai bisa melakukan segala sesuatu untuk semua orang, daripada melakukan sesuatu untuk seseorang. Anda tidak akan melakukan apapun untuk siapapun. (Malcolm Bane)
  • Orang yang bicara terlalu banyak tentang dirinya sendiri dapat berarti menutupi dirinya sendiri. (Friedrich Nietzsche)
  • Hidup jadi terasa mudah jika pernah merasakan susah. (Anonim)
  • Tak seorang pun bisa kembali ke masa lalu dan memulai awal baru. Namun semua orang dapat memulai dari sekarang dan membuat akhir yang sama sekali baru. (Carl Bard)
  • Dengan belajar, Anda bisa mengajar. Dengan mengajar, Anda belajar. (Pepatah Latin)
  • Saya belajar diam dari orang yang banyak omong. Toleransi dari orang yang tidak toleran. Kebaikan dari orang yang tidak baik. Tapi anehnya saya tidak bisa berterimakasih kepada guru-guru ini. (Kahlil Gibran)
  • Pertumbuhan dimulai ketika kita mulai menerima kelemahan-kelemahan kita sendiri. (Jean Vanier)

Senin, 07 Maret 2011

Petuah Dunia

  • Hanya seorang yang takut yang bisa bertindak berani. Tanpa rasa takut itu tidak ada apapun yang bisa disebut berani. (anonim)
  • Anda harus melakukan sesuatu yang Anda pikir tidak akan bisa Anda lakukan. (Eleanor Roosevelt)
  • Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi Anda rasakan dalam semenit, sejam, sehari, atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya. (Lance Armstrong)
  • Suatu pekerjaan yang paling tak kunjung bisa untuk diselesaikan adalah pekerjaan yang tak kunjung dimulai. (JRR Tolkien)
  • Sedikit orang kaya yang memiliki harta. Kebanyakan harta yang memiliki mereka. (Robert G. Ingersoll)
  • Hidup manusia penuh dengan bahaya, tetapi justru disitulah letak daya tariknya. (Edgar Alnsel Mowrer)
  • Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali tiap kita jatuh. (Confusius)
  • Pikiran Anda bagaikan api ang perlu dinyalakan, bukan bejana yang perlu diisi. (Dorothea Brande)
  • Uang merupakan hamba yang baik, tetapi tuan yang sangat buruk. (P.T. Barnum)
  • Jangan biarkan jati diri menyatu dengan pekerjaan Anda. Jika pekerjaan Anda lenyap, jati diri Anda tidak akan pernah hilang. (Gordon Van Sauter)
  • Dalam memberi nasihat ada 2 hal yang wajar diperhatikan. Pertama, apa yang akan kita nasihatkan sudah kita jalani. Kedua, bila kita belum mengalaminya dan kita tahu caranya, tetap sampaikanlah. Karena setelah kita menasihati, beliau akan mengaruniai pengalaman tersebut. (Mario Teguh)

Jumat, 11 Februari 2011

Apa Kamu Bisa?

Dulu, Dulu banget… saat saya baru duduk di bangku kelas 1 SMU, ada sebuah audisi untuk sebuah majalah sekolah, tentunya di sekolah yang baru saya duduki bangkunya tadi. Karena saya suka nekat dan ingin mencari suatu kegiatan baru (selain main gitar dirumah selepas pulang sekolah), saya putuskan untuk ambil bagian didalamnya. Layaknya remaja pada umumnya, semangat saya sangat menggebu-gebu saat itu, langsung saja tawaran itu saya jawab dengan jari telunjuk mengacung keatas, “Saya mau!” dan saat itu saya orang pertama di kelas yang mengajukan diri.

Tak selang beberapa lama, Guru Bahasa Indonesia dengan senyum kecut nya, menunda pencatatan diri saya di daftar calon anggota majalah sekolah itu. Hal yang paling mendasar dan mungkin bisa diterima, adalah syaratnya yang sangat eksklusif, ‘Calon Peserta Adalah Siswa Rangking 1 dan 2, atau Memiliki Danem Tinggi’, sontak saya terkejut sembari menahan malu, karena kenyataanya, saya sama sekali tidak masuk kategori.

Guru itu lantas mencari kandidat baru, dengan alasan, saya adalah cadangan jika tidak ada lagi calon dikelas itu. Tindakan itu adalah cambuk buat saya, sehina itukah saya? Se elegan itukah majalah sekolah? Karena tidak satupun mau, keputusan pun jatuh pada saya dan seorang lagi siswi cantik dengan nilai tinggi. “Okky, apa kamu bisa? Kamu goblok gitu,” oloknya didepan 50 siswa. Dengan santai saya jawab, “Orang tua saya tidak pernah meragukan saya saat saya belajar jalan, jadi kenapa saya harus ragu?” Jawab saya tegas.

‘Pertempuran’ pun dimulai, satu tahun pertama, saat itu masih anggota junior, saya berhasil mengumpulkan artikel saya jauh sebelum tanggal deadline, satu tahun kedua, saya berhasil dipilih mnenjadi ketua baru, atau bahasa keren-nya, Pimpinan Redaksi. Sejumlah perubahan saya lakukan, mulai penggunaan bahasa baku, rekrutmen yang tidak lagi mementingkan nilai, pengakuan kemampuan personal, hingga look majalah yang baru. Saya berhasil melampaui siswi cantik dengan nilai terbaik itu.

Prestasi Jurnalis SMA Terbaik, berhasil saya raih, dan kepercayaan teman-teman, guru, kepala sekolah, hingga guru pematah semangat tersebut, beralih pada saya, siswa bodoh dan bahan olokan.

Lepas dari pendidikan Putih Abu-abu tersebut, selang beberapa tahun tentunya, saya putuskan untuk meneruskan hobi saya sebagai Jurnalis dengan melamar sebagai wartawan di media lokal. Dengan semangat olokan dulu, saya berhasil menjadi Koordinator Liputan, Redaktur, hingga Humas dalam 2 tahun masa kerja saya.

Bukan Prestasinya yang menjadi inti tulisan ini, tapi saya berhasil menaklukan momok ejekan yang selalu menjadi ganjalan selama ini. Guru pematah semangat itu sekarang berbalik malu saat melihat saya di reuni sekolah. Tapi tanpa saya sadari, Guru itu sudah berubah menjadi Guru Pembakar Semangat saya. Saya peluk dia, dan saya katakan, “Terima kasih atas ejekan ibu dulu.”

Ahli Batu

Ini adalah cerita tukang batu.

Hiduplah seorang ahli batu yang sangat terkenal di China. Hasil karyanya tersohor disegenap penjuru negeri. Batu-batu permata dan intan yang berkilauan itu, dipajang menjadi perhiasan jemari dan kaki para raja. Hampir semua batu indah di dunia ini, pernah diolah tangannya. Giok, rubi, dan safir, terpajang di segenap sudut-sudut rumahnya.

Namun sang ahli sudah sangat tua. Kini ia berusaha mencari pengganti dan penerus karya-karyanya. Belasan orang berusaha berguru. Tapi tak ada yang cocok untuk pekerjaan itu. Hingga akhirnya dia menemukan seorang pemuda yang tampak bersemangat dan bersedia menjalani ujian.

“Anak muda, ujian pertama ini tidak sulit,” ucap sang ahli membuka pembicaraan. “Mudah saja. Begini, jika kamu mampu mengambil batu dalam genggamanku, maka kamu layak mewarisi semua ilmuku. Namun, jika tanganku yang lebih cepat menutup, maka kamu harus mengulang ujian itu besok.”

Anak muda itu mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk pelan dan menjawab, “Baiklah, itu pekerjaan mudah.”

Ujian itupun dimulai. Sang ahli meletakkan sebuah batu diatas genggaman. Disodorkannya ke arah muka si anak muda. “Ayo, ambil.”

Hap! Tampak kedua tangan yang beradu cepat. Sang pemuda berusaha meraih batu dalam genggaman itu. Ah, dia kalah sigap. Tangan sang ahli telah lebih dulu menutup. “Kamu belum berhasil, Anak muda. Cobalah besok.”

Sang pemuda tampak kecewa. Keesokan harinya, anak muda itu kembali mencoba. Ujian pun berulang. Lagi-lagi, dia gagal. Gerakannya masih terlalu lambat. Ia pun harus kembali mengulang ujian itu. Dua, tiga hari dilaluinya, tak juga berhasil. Sembilan hari telah terlewati. Tapi batu itu masih belum berpindah tangan. Pemuda itu mulai tampak putus asa dan dia berjanji kalau besok masih belum berhasil, dia akan berhenti dan tidak mau menjadi ahli permata.

Hari penantian itu pun tiba. Keduanya telah duduk berhadapan. Sang ahli bertanya, “Kamu sudah siap?” Sang ahli meletakkan sebongkah batu diatas genggamannya. Namun, tiba-tiba anak muda itu berteriak, “Hei, tunggu dulu. Itu bukan batu yang biasa kita gunakan!” Alih-alih meraih batu itu, sang anak muda malah menanyakan tentang batu. Wajah keheranan itu dibalas dengan senyuman dari sang ahli batu. “Anak muda, kamu lulus ujian pertama dariku. Selamat!”

Selasa, 08 Februari 2011

Setan Atau Malaikat?

“Makhluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi setan atau malaikat.” (John Scheffer).


Dari pingir kaca nako, diantara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat rumah saya. Tangannya yang dimasukkan di saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang lalu lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan di Koran. Atau, dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu lalu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi, mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri disamping tiang telepon. Saya punya pikiran lain, Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga leih baik dari pada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, diantara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena sesekali anak itu masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas dipikaran saya untuk menelpon tetangga. Tapi, saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk sekompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul?

Tiba-tiba, anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tatangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi, anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba, di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai rumah saya tahu dompet yang disimpan dikantong plastik disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah diatas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapapun saya piker aan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongeng?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastic hitam itu, saya menemukan surat yang tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:


“Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu, tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan member ongkos. Karena kempuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi, yang membuat saya sakit hati, bapak sering mabuk dan judi buntut yang beredar dan sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja berjualan koran, saya juga membantu mencuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya mengamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini, belum pernah tebakan bapak tepat. Lagi pula, emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika bapak semakin sering meminta uang kepada emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir bapak. Dan begitu bapak memukul, saya membalasnya sampai bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat emak sakit dan bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati dengan siapa. Hanya untuk membawa emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang sering tidur entah dimana, tidak peduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya berjualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi, orang lain dengan mobil mewah melenggang begitu saja didepan saya, sesekali menelepon dengan HP. Dan diseberang halte itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, emak harus ke dokter. Karena dari berjualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu, diatas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapat uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Bu, emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya atau meminjam dari teman. Tapi, saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, emak mengalihkan pandangannya setelah saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya, mengalir butir-butir air. Emak menangis. Bu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak peduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak peduli kepada saya. Tapi, saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”


Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap halte tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapa pun yang berada di halte tidak mengena anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, dibawah pohon yang rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya. Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja. Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan ditempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merek terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolak meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan dimana saja. Tapi, saya ingin memasak dirumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus diberikan kepada para pengemis, para pedangan asongan, dan pengamen yang banyak disetiap halte.

Dihalte terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.”

Dan, saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Sabtu, 08 Januari 2011

Nilai Kesadaran

Dikisahkan, seorang direktur eksekutif di sebuah perusahaan multinasional berkisah tentang perjalanan kariernya.
Saat masih muda, dia bangga pada dirinya sendiri yang pintar, lulus sekolah dengan angka yang memuaskan dan bersikap angkuh pada orang-orang yang tidak sepandai dirinya. Dulu ia egois sekali, mengejar karier secepat mungkin tanpa mempertimbangkan perasaan orang-orang yang ia duluhi. Yang penting, cepat sampai tujuan tanpa pernah menyadari bahwa kepandaian dan caranya memenangkan perdebatan di meja rapat ternyata menyakiti teman-teman dan seniorku sendiri. Yang penting, dewan direksi senang dan puas dengan hasil kerjanya, maka kariernya pasti akan meningkat dengan pesat begitu pula gaji dan fasilitas yang bakal ia terima. Yang lainnya dia tidak peduli. Sikapnya yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak merasa perlu bersosialisasi, menyebabkan ia dijauhi teman-teman dan ketika sadar, tiba-tiba ia sendirian!
Saat kelelahan karena pekerjaan yang menumpuk, tidak ada satu orang pun yang menyapanya apalagi membantu. Ketika sakit, tidak ada yang menanyakan keadaannya apalagi menjenguk. Hidupnya begitu kering dan kesepian. Hanya ada satu orang yang menyapaku dengan senyum, yang selalu merekah di bibirnya, yaitu si Udin, cleaning service merangkap office boy di kantorku. Sosok pemuda kampung yang ramah dan suka membantu.
Sapanya yang khas setiap bertemu, "Selamat pagi, siang, atau sore, Pak.","Mau tambah minum apa?", atau "Apa yang bisa saya bantu, Pak?" Meskipun pekerjaannya berat, menyiapkan segala properti untuk semua orang di kantor, dia selalu ringan tangan untuk menolong orang lain yang bukan menjadi tugasnya sehingga dia sangat disukai oleh semua orang. Bahkan saat tidak masuk kerja karena sakit, beberapa orang kantor menyempatkan menengok dan mengumpulkan uang untuk membantu Udin.
Diam-diam, aku iri kepada Udin dan marah kepada diriku sendiri. Iri kepada Udin? Yang cuma cleaning service? Sungguh keterlaluan! Kenyataan itu serasa menamparku dengan keras. Selama berhari-hari aku merenung dan meneliti kembali tujuan hidupku. Apakah aku bahagia dengan perolehan yang telah aku capai selama ini? Apakah ini tujuan hidup yang aku inginkan? Dan banyak lagi pertanyaan yang menggantung di benak ini. Sejak itu, aku sadar dan segera membuat rencana untuk berusaha mengubah diri menjadi lebih baik seperti yang aku inginkan.
Menjadi pribadi yang lebih menyenangkan bagi diri sendiri dan orang lain. Perubahan demi perubahan positif pun terjadi. Sungguh luar biasa. Kesadaranku muncul karena seorang Udin!

Rabu, 05 Januari 2011

Lampu Merah dan Kesedihan

Dari Kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan disitu cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.
Priiit ! Di seberang jalan, seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itukan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali bertemu kamu lagi!"
"Hai, Jack," jawab Bob tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu dirumah."
"Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalo begitu. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segalasesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya ngerti. Tapi sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
"Jadi kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala." Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
"Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu."
Dengan ketus Jack menyerahkan kartu SIM lalu masuk kedalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima senti sudah cukup untuk memasukkan surat tilangnya. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM-nya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota apa ini? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

Hallo Jack,
Tahukah kamu, Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang mengebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama tiga bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku, Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah.

Bob

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang, ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
***
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons